HMPS HES UIN Jakarta

4 Penyesalan Jadi Mahasiswa Ambis, yang Terakhir Saya Alami Sendiri

Duduk di bangku kuliah menjadi previllege tersendiri bagi orang yang teman sebayanya hanya bisa duduk hingga bangku SMA. Menyandang label mahasiswa membuat seseorang pede ketika kumpul dengan teman yang tidak kuliah (di samping mereka punya cara sendiri untuk menikmati hidup).

Yang paling pede tentu mahasiswa yang saat kuliah sangat ambisius, dalam bahasa gen z disebut mahasiswa ambis. Ada tiga macam mahasiswa ambis. Ada yang ambis di bidang akademik dan non-akademik. Ada yang rajin belajar, rajin kuliah, ada yang belajarnya biasa saja tapi sangat aktif di organisasi, dan yang paling ambis adalah yang aktif di dua-duanya.

Ketiganya mungkin membanggakan. Satu pintar, dua banyak relasi, tiga pintar dan banyak relasi. Tapi jangan salah. Tidak selamanya jadi orang pintar itu enak. Tidak selamanya banyak kenalan itu menyenangkan. Tidak selamanya mahasiswa ambis itu selamat dari 4 ancaman berikut;

Belajar Mati-Matian, yang Dapet Nilai A Satu Kelas

Mahasiswa ambis bukan yang selalu mencatat di kelas. Memang itu salah satunya. Ada juga yang jarang mencatat di kelas namun di akhir menjelang masa ujian (UTS/UAS) dia membuat rangkuman pribadi di kamarnya agar bisa belajar sendiri. Pikirnya, nanti cuma dia yang catatannya paling lengkap. Bukan di buku, tapi di file.

Nah masalahnya, biasanya ada satu teman dekatnya, circle-nya, bertanya, “Punya rangkuman nggak? Bingung nih mau belajar apa”. Dikasih dong, kan teman dekat. Pikirnya, “Nggak apa-apa dah, dia nggak bakal hafal semua materi di rangkuman”. File dia share ke temannya dan ketika ujian rangkuman itu dilihat oleh teman-teman yang lain.

Bencana pun muncul ketika teman yang lainnya bilang, “Eh, bagi rangkuman bisa kali”. Akhirnya, banyak yang mendapat nilai A hanya bermodal nyontek, tanpa belajar, tanpa membuat rangkuman, tanpa tahu ketidakikhlasan dan penyesalan si mahasiswa ambis.

Jadi Pelarian, Tanpa Ada Cuan

Mahasiswa ambis biasanya juga jadi pelarian. Biasanya jadi PJ mata kuliah. Sebenarnya bagus, bisa kenal dekat dengan dosen, keren kan? Nggak semua mahasiswa bisa dikenal dosen. Ya hitung-hitung buat tambahan nilai (kecuali rangkumannya tidak bocor).

Tapi lama-lama ya membosankan. Apa-apa selalu PJ yang diandelin. Belum lagi kalo ada salah, ya pasti PJ yang disalahi meski yang salah bukan pure dia.

Capek memang jadi orang penting di kelas. Apa-apa harus dikerjakan sendiri. Ngechatin dosen, dosennya off centang biru. Dosen mau kuliah online, PJ dong yang harus nyediain link zoom. Belum lagi minta yang berbayar, keluar duit lah si PJ. Ada dosen yang memang kere. Iya nggak?

Kadang harus naik-turun tangga dari kelas ke ruang dosen. Kalo ujian nih, PJ tuh nggak bisa pulang duluan. “Nanti kertas jawaban dikumpulin di ruang dosen ya, PJ tolong koordinir teman-temannya”. Kalau dosen sudah bilang begitu, auto pulang terakhiran.

Jadi Ketua, Ya Siap Tekor

Banyak kejadian, kalian pasti paham. Meskipun kalian bukan mahasiswa ambis, mungkin kalian mendengar bocoran dari orang dapur kalau ketua organisasi itu keluar uang atau tekor. Kenapa begitu? Kita bahas satu persatu, dari alasan masuk akal sampai yang tidak.

Pertama, tanggung jawab moral. Ketua memang tidak diharuskan untuk memodali organisasi, di AD/ART pun tidak diatur. Namun ketika organisasi yang diketuainya defisit dana, si ketua memiliki tanggung jawab moral (entah dari mana keyakinan ini berasal). Keluar uang, menunggu uang rembesan dari kampus

Kedua, mau nggak mau. Ketika ada kumpul misalnya, di kafe. Anggota yang lain biasanya hanya memesan minuman. Nggak enak dong, kumpul tapi ga ada cemilan. Jadi mau nggak mau si ketua harus berkorban. Beruntung, biasanya yang jadi ketua itu memang orang menengah ke atas. Iya kan?

Ketiga, nggak enakan. Contoh, ada open donasi. Jika ada anggota yang memberi 500 ribu, tentu si ketua harus lebih dari itu. BTW, ketua saya (tingkat prodi) keluar uang 10 juta.

Korban PDD Kampus

Publikasi, Dekorasi dan Dokumentasi atau PDD merupakan satu dari sekian banyak divisi kepanitian yang umum di kenal dalam organisasi kampus. Anehnya, PDD menjadi divisi yang orang-orangnya sulit untuk direshuffle. Jangankan yang memang editannya keren, yang hanya ikut-ikutan pun, yang editannya hanya plek-ketiplek, asal dia manut ketika disuruh, posisinya tidak akan tergantikan. Sekali masuk PDD, maka sampai akhir masa jabatan, bahkan di kepengurusan periode selanjutnya ia akan tetap menjadi divisi paling sibuk di kampus.

Gak percaya? Lihat saja teman-teman PDD kalian. Orangnya itu-itu aja kan? Anehnya lagi, mereka itu terlalu baik. Meski mereka udah capek, mumet, mereka masih berpikir “ya mau gimana lagi, harus gua yang ngedit”. Senjata makan tuan.

 

Ditulis oleh Ali Sajad (Mahasiswa HES UIN Jakarta)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top